Tentang Rasa Kecewa dan Berdamai dengan Diri Sendiri
Sebagai seorang manusia, siapa yang tidak pernah kecewa? Kemungkinan besar semua pembaca di sini pernah merasakan kecewa. Sebenarnya, apa pemicu rasa kecewa dalam diri kita? Menurut Adjie Santosoputro, seorang praktisi mindfulness, perasaan kecewa dapat muncul karena ekspektasi/harapan/pikiran kita terhadap orang lain atau sesuatu hal. Tidak bisa dipungkiri, sebagai manusia sosial, kita punya kecenderungan untuk berharap orang lain berlaku baik kepada kita. Namun, realitanya, apa yang orang lain akan lakukan atau katakan kepada kita berada di luar kontrol kita.
Rasa kecewa yang muncul ini sebenarnya bersifat relatif. Satu insiden bisa saja bersifat netral untuk kita. Namun, ketika insiden itu terjadi pada orang lain, bisa saja dia merasa kecewa setelahnya. Kadar kekecewaan yang dirasakan setiap orang berbeda-beda karena sebenarnya yang memunculkan kekecewaan adalah pikiran kita, bukan kejadian tersebut atau orang lain.
Ilustrasinya begini: ada satu orang, kita sebut saja Mawar, melakukan tindakan yang sama terhadap A dan B. Kedua orang ini, yaitu A dan B, bisa saja merespon tindakan itu dengan sangat berbeda. Bisa jadi bagi A, tindakan tersebut netral saja, tetapi tindakan itu ternyata menyinggung B. Mengapa bisa demikian? Karena A dan B memiliki pengalaman masa lalu yang berbeda. Itulah bagaimana rasa sakit hati dan kecewa dapat muncul ke pikiran kita. Mungkin dulu B tidak pernah menerima tindakan tersebut, sehingga pengalaman pertama yang dia rasakan ini membuatnya kecewa pada Mawar, sedangkan A sudah sering mengalaminya, maka A merasa tindakan Mawar tidak berdampak apapun padanya.
Oleh karena itu, berilah kendali atas pikiran dan perasaan kita kepada diri kita sendiri. Jangan biarkan kendali kita berada pada orang lain. Untuk bisa sembuh dari rasa kecewa dan sakit hati kita, kita perlu berdamai dengan diri sendiri. Agar bisa berdamai dengan diri sendiri, mari kita sadari pikiran kita secara utuh (be mindful). Beri jarak pada pikiran kita dan beri diri kendali sepenuhnya.
Berdamai dengan Diri Sendiri
Beberapa faktor yang membuat kita sulit berdamai dengan diri sendiri, yakni:
1. Meyakini bahwa semua hal hanya hitam dan putih
Beberapa dari kita memiliki kecenderungan untuk mengkategorisasikan semua hal menjadi hitam dan putih, alias benar dan salah. Salah satu contoh konkrit adalah ketika kita merasa salah membuat keputusan. Kecenderungan kita adalah terlalu fokus pada kesalahan tersebut. Di dalam idealisme pikiran kita, kata-kata 'seharusnya aku membuat keputusan yang lain, andai saja aku tidak memilih hal ini' terus berputar di kepala. Padahal, penyesalan itu tidak akan membuat kondisi kita menjadi lebih baik. Daripada berkutat pada masa lalu yang tidak dapat diputar, kita bisa fokus pada aksi untuk 'saat ini'. Poin ini berkaitan dengan faktor no.2:
2. Terlalu berkutat pada masa lalu.
Masa lalu sudah tidak eksis lagi saat ini. Masa lalu hanya ada di pikiran. Alasan kebanyakan orang sulit move on dari masa lalu adalah karena mereka terlalu menikmati memori atau kenangan di masa lalu, yang akibatnya sulit membuat mereka pulih. Kita perlu memberitahu pikiran kita bahwa kisah di masa lalu yang emosional bukanlah sesuatu yang perlu kita pikirkan terus-menerus. Hati-hati, dampak terbesar dari terlalu berkutat pada masa lalu adalah: kita tidak menghidupi 'hari ini' dengan maksimal. Kemudian, momen 'hari ini' yang akan menjadi masa lalu juga tidak membantu kita berdamai dengan situasi dan diri sendiri.
Baca juga: Makna Lagu Takut oleh Idgitaf dan Saat Quarter Life Crisis Melanda
3. Pikiran tidak sama dengan Kenyataan
Untuk dapat berdamai dengan diri sendiri, kita perlu pulih dari luka-luka di masa lalu. Agar dapat pulih, kita perlu belajar untuk tidak mengingat lagi kejadian-kejadian yang menyakitkan di masa lalu. Memang, kita tidak mungkin meminta pikiran kita untuk tidak mengingat sesuatu karena otak manusia sudah didesain untuk memiliki mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism). Kalau saja otak kita tidak memiliki mekanisme ini, kita akan membahayakan diri kita sendiri. Misalnya, saat kita tidak sengaja menginjak kulit pisang dan terpeleset, otak kita akan mengingat kejadian ini dan menjaga kita untuk tidak lagi menginjak kulit pisang yang akan membuat kita terpeleset di waktu yang akan datang.
Momen pahit yang terkadang teringat lagi di pikiran kita bukan berarti tidak baik. Namun, yang perlu kita sadari, saat momen pahit itu muncul, alangkah baiknya apabila kita sadar sepenuhnya bahwa pikiran itu adalah ingatan, bukan kenyataan (Santosoputro, 2021).
Yang perlu kita sadari, saat momen pahit itu muncul, alangkah baiknya apabila kita sadar sepenuhnya bahwa pikiran itu adalah ingatan, bukan kenyataan (Santosoputro, 2021).
Pada akhirnya, kita tidak perlu memaksakan diri untuk melupakan rasa kecewa kita karena semakin kita mencoba melupakan, malahan pikiran itu akan semakin sering muncul. Sadari bahwa momen pahit tersebut hanyalah suatu memori dan pengalaman, maka pikiran pun akan menaruh ingatan tersebut sesuai porsinya. Dengan kesadaran penuh ini, otak kita akan mencerna bahwa suatu kejadian buruk yang kita alami hanyalah porsi kecil dari keseluruhan kondisi hidup kita yang sangat luas. Pesan terakhir dari mas Adjie yang ingin aku sampaikan kepada kita semua adalah:
Hanya saat kita menerima bahwa gembira dan sedih adalah paket lengkap dalam hidup kita, di situlah kita dapat berdamai dengan diri kita sendiri. - Adjie Santosoputro
Sumber utama tulisan reflektif ini:
Tulisannya bagus sekalii💖
ReplyDeleteTerima kasih banyak sudah mau membaca tulisan ini, Bida <3
DeleteSetuju 👍. Setiap manusia pasti pernah kecewa, bohong aja kalo ga. Bedanya, ada yang cepet move on, mengambil hikmah dan pelajaran dari kejadian yg dia alami, tapi ada juga yg berkubang trus2an mengingat rasa sakitnya . Ujung2nya susah untuk menghilangkan ingatan kecewanya.
ReplyDeletePernah dulu aku terlalu lama ngerasa sakit hati, tapi yg ada, malah jadi ga bahagia. Pikiran dipenuhi trus Ama rasa kecewa, kenapa begini, salahku di mana dll. Capeek loh jadinya. Akhirnya belajar, apapun yg terjadi ke kita, itu semua udah takdir toh. Sedih boleh, kecewa silahkan, tapi jangan kelamaan. Langsung ambil hikmahnya, jadi pembelajaran, lupain orang yang udah nyakitin. Aku anggab ga worth it buat aku pikirin selalu. Skr jadi lebih mudah handle perasaan kecewa.